Kamis, 19 November 2020

25 Satwa Terancam Punah Prioritas

Sejatinya upaya penyelamatan dan pelestarian satwa langka menjadi tanggungjawab Kita semua. Namun kesadaran belum sepenuhnya tertanam dalam pikiran, hati apalagi jiwa banyak orang. Menurut saya “Wajar saja”..., mengingat tidak semua orang mengetahui keberadaan, keunikan, jumlah dan status dari satwa langka tersebut. Hal ini tentunya akan mempengaruhi persepsi setiap orang terhadap upaya pelestarian satwa langka tersebut (pasti berbeda dong... hehehe). Istilah trendnya “tak kenal ta sayang”.

So.... dalam kesempatan ini, Saya cuma ingin mengingatkan kembali bahwa pada tanggal 30 Juni Tahun 2015 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah menetapkan 25 Satwa Terancam Punah Prioritas untuk ditingkatkan populasinya di alam melalui Surat Keputusan Dirjen KSDAE nomor : 180/IV-KKH/2015.

Beberapa kegiatan penting yang perlu segera dilakukan agar dapat meningkatkan populasi 25 satwa terancam punah prioriatas ini sebagai berikut : Pembinaan populasi/habitat, Penanggulangan konflik,  Perlindungan dan pengamanan, Penyadartahuan, Rehabilitasi dan Pelepasliaran, Pengelolaan dan Pengembangan pangkalan data.

 

25 Satwa Terancam Punah Prioritas yaitu :

1. Harimau sumatra

2. Gajah sumatra

3. Badak Rhinoceros sondaicus

4. Banteng jawa

5. Owa jawa

6. Orangutan

7. Bekantan

8. Komodo

9. Jalak bali

10. Maleo

11. Babi rusa

12. Anoa

13. Elang

14. Kakatua

15. Macan tutul

16. Rusa bawean

17. Cendrawasih

18. Surili

19. Tarsius

20. Monyet hitam sulawesi

21. Julang sumba

22. Nuri kepala hitam

23. Penyu

24. Kanguru pohon

25. Celepuk rinjani




Sabtu, 24 Oktober 2020

Pelatihan Menembak Polhut Balai KSDA Sulawesi Utara

Kegiatan pelatihan menembak untuk Polisi Kehutanan lingkup Balai KSDA Sulawesi Utara dilaksanakan selama 2 (dua) hari yaitu tanggal 23 s/d 24 Oktober Tahun 2020 yang berlokasi di Lapangan Tembak Kesatuan Brimob Polda Sulut.

Tujuan dilaksanakannya kegiatan ini adalah untuk meningkatkan kualitas Personel Polhut dalam bertugas. Setiap Personil Polhut diharapkan dapat lebih menguasai penggunaan senjata api sesuai SOP, memiliki kesabaran, ketenangan dan kemampuan untuk dapat mengendalikan diri dilapangan.

Gambar 1. Instruktur dan Peserta Pelatihan

    Pelatihan menembak dibimbing oleh 5 orang Intruktur menembak dari Kesatuan Brimob Polda Sulut yang handal dan sudah sangat berpengalaman dibidangnya. Kegiatan terdiri dari pemberian materi teori sebanyak 10 JPL dan Praktek 10 JPL. Adapun materi yang diberikan adalah :
1.   Pengantar senjata api
2.   Dasar-dasar pengenalan senjata api
3.    Pemeliharaan senjata api
4.    Bongkar pasang senjata api
5. Teknik dan cara penggunaan senjata api

Gambar 2. Penyampaian Materi oleh Instruktur

Senjata api yang dipergunakan dalam latihan ini adalah Senjata Api type PMA1A1, Pistol FN CHESKA dan senjata Organik POLRI berupa Senjata Api Laras Panjang type SS1.

Menurut instruktur menembak Sat. Brimob Polda Sulut, latihan menembak seperti ini sebaiknya dilaksanakan secara rutin, hal ini dimaksudkan agar setiap Personil Polhut dapat lebih memahami dan menguasai setiap permasalahan dan penggunaan senjata api dilapangan.

Gambar 3. Latihan Praktek Menembak

#balaiksdasulut




Minggu, 31 Oktober 2010

SM. Karakelang

Kawasan Suaka Margasatwa Karakelang terletak di Pulau Karakelang Kabupaten Kepulauan Talaud, dimana Pulau Karakelang ini merupakan pulau terbesar pada gugusan Kepulauan Sangihe-Biaro-Talaud yang terletak diantara Ujung Utara semenanjung Pulau Sulawesi dan Pulau Mindanao, Filipina. Pulau seluas 802,43 km2 ini berdasarkan analisa citra satelit tahun 2001-2002 terbagi atas wilayah hutan seluas 260,43 km2 dan kebun/perkebunan seluas 232,78 km2. sedangkan sisanya merupakan lahan terbuka dan pemukiman penduduk. Topografi di pulau ini umumnya landai hingga terjal dengan kisaran antara 0 hingga 650 m dpl. Kawasan Suaka Margasatwa Karakelang ini terdiri dari SM. Karakelang bagian Utara dan Selatan dengan luas keseluruhan ± 24.669 ha.

Sebelumnya status dan fungsi kawasan Hutan Suaka Margasatwa Karakelang adalah Taman Buru. Hal ini berdasarkan SK Menteri Pertanian No. 510/Kpts/UB/8/1979 tanggal 8 Agustus 1979 yang menunjuk kawasan tersebut sebagai Taman Buru dengan luas ± 21.800 ha. Kemudian dipecah menjadi dua kawasan Taman Buru dengan SK Menteri Kehutanan No. 517/Kpts-II/1989 tanggal 19 September 1989 untuk Kawasan Karakelang Selatan dengan luas 3995 ha dan SK Menteri Kehutanan No. 399/Kpts-II/1989 tanggal 2 Agustus 1989 untuk Kawasan Karakelang Utara dengan luas ±20.674 ha. Akan tetapi berdasarkan penelitian potensi biotis yang dikandung oleh kawasan tersebut, maka berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 97/Kpts-II/2000 tanggal 22 Desember 2000 kawasan tersebut ditetapkan dan diubah fungsinya sebagai kawasan Suaka Margasatwa dengan luas ± 24.669 ha.

Suaka Margasatwa Karakelang terletak di Pulau Karakelang yang secara administratif termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Kepulauan Talaud, Provinsi Sulawesi Utara. Suaka Margasatwa ini dibagi atas dua kawasan yaitu Kawasan Karakelang Bagian Utara (100-608 m dpl) dan Kawasan Karakelang Baggian Selatan (100-521 m dpl). Kawasan Karakelang Bagian Utara secara geografis terletak kurang lebih pada (04013’45’’- 04013’32’’ LU dan 19050’30’’ – 20000’04’’BT) dan secara administratif berbatasan dengan Kecamatan Beo, Kecamatan Essang, Kecamatan Gemeh, dan Kecamatan Rainis.

Pulau Karakelang penting secara ornitologi karena termasuk dalam Daerah Burung Endemik Sangihe-Talaud, satu dari 24 Daerah Burung Endemik (DBE) yang ada di Indonesia (E19) (Sujatnika et al., 1995). DBE ini mendukung14 spesies burung sebaran terbatas (jenis yang memiliki penyebaran <>2), dimana enam jenis diantaranya terdapat di Karakelang (Wardill et al., 1997).

Iklim di wilayah Kepulauan Talaud adalah iklim basah dengan curah hujan rata-rata 316 mm/bulan dengan kelembaban udara berkisar 66-92 %. Intensitas curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Desember hingga Januari dan musim kering pada bulan Agustus hingga September (Bapedda, 2003).

Minggu, 08 Maret 2009

Cagar ALam Gunung Lokon

Kondisi Umum Kawasan CA. Gunung Lokon

Letak dan Luas
Cagar Alam Gunung Lokon merupakan salah satu dari tiga belas (13) kawasan konservasi yang ada di Propinsi Sulawesi Utara. Kawasan ini ditunjuk oleh Pemerintahan Belanda berdasarkan GB. No. 6 stbl. 122 tgl 12 Februari 1919 dengan luas 100 Ha. Kawasan Cagar Alam Gunung Lokon telah mengalami perluasan dan telah ditetapkan berdasarkan SK. Menteri Kehutanan No.109 /Kpts-II/2003 tanggal 27 Maret 2003 tentang Penetapan Kelompok Hutan Gunung Lokon seluas 720 Ha yang terletak di wilayah Kecamatan Tomohon dan Pineleng, Kabupaten Minahasa. Propinsi Sulawesi Utara sebagai kawasan Hutan tetap dengan fungsi Cagar Alam.

Secara geografis kawasan ini terletak pada 1o 30 ‘ – 1 o 33’ LU dan 124 o 74’ – 248 o 82’ BT. Kawasan ini terletak di Kecamatan Tomohon Utara, Kota Tomohon Propinsi Sulawesi Utara. Kawasan ini berbatasan langsung dengan 7 (tujuh) kelurahan/desa di Kecamatan Tomohon Utara, yakni : kelurahan Kinilow, Kinilow I, Kakaskasen I, Kakaskasen II, Kakaskasen III, wailan, dan desa Kayawu. Dan 5 (lima) kelurahan/desa di Kecamatan Tomohon Barat , yakni : kelurahan Woloan I, II, III dan desa Tara-tara I, II.

Seperti yang telah diuraikan diatas, kawasan Cagar Alam Gunung Lokon secara administratif berada di Kecamatan Tomohon utara dan Kecamatan Tomohon Barat, Kota Tomohon, Propinsi Sukawesi Utara. Kecamatan Tomohon Utara merupakan pemekaran dari Kecamatan Tomohon pada tahun 2001, dan terdiri dari 9 (sembilan) kelurahan/desa, dimana tujuh diantaranya merupakan kelurahan/desa yang berbatasan langsung dengan kawasan Cagar Alam Gunung Lokon. Adapun Batas wilayah Kecamatan Tomohon Utara adalah sebagai berikut :
Sebelah Utara : Kecamatan Pineleng
Sebelah Timur : Kecamatan Tombuluan.
Sebelah Selatan : Kecamatan Tomohon Tengah.
Sebelah Barat : Kecamatan Tombariri


Kawasan ini ditetapkan sebagai kawasan Cagar Alam karena memiliki ekosistem khas berupa hutan pegunungan dengan gunung berapi yang masih aktif dan mempunyai dua kepundan yang sangat menarik. Secara umum topografi kawasan ini adalah landai sampai bergunung dengn kelerengan 0 % - 90 %, dimana ketinggian puncaknya mencapai kurang lebih 1.580 m dpl. Cagar Alam Gunung Lokon mempunyai rata-rata curah hujan yang cukup tinggi 2500 –3500 mm/tahun dengan temperatur rata-rata 18 o C – 24 o C.

Potensi Flora dan Fauna
Kawasan Cagar Alam Gunug Lokon selain dikenal karena memiliki potensi ekosistem pegunungan berapi yang masih aktif, kawasan ini juga memiliki potensi flora dan fauna yang khas. Jenis flora yang memdominasi kawasan ini adalah Pandan (Pandanus sp) , Aren (Arenga pinnata), Cemara gunung, Pakis-pakisan, anggrek-anggrek pohon , masih banyak lagi tanaman-tanaman hias lainnya. Di sisi lain kawasan ini terdapat padang alang-alang , keadaan ini disebabkan oleh kegiatan Gunung lokon yang sewaktu-waktu aktif dan mengeluarkan debu panas.

Jenis fauna yang terdapat di dalam Cagar Alam ini antara lain : Kera Hitam sulawesi (Macaca nigra), Tangkasi (Tarsius spectrum), Kus-kus (Phalanger celebencis) dan jenis-jenis burung seperti raja udang, tekukur, pipit, dll. Akan tetapi menurut warga masyarakat setempat satwa-satwa tersebut sebagian besar telah bermigrasi ke hutan lindung yang berada di sebelah kawasan ini, akibat letusan gunung lokon. Satwa-satwa lain seperti tarsius dan kus-kus masih sering terlihat oleh masyarakat di kebun-kebun, pohon-pohon dan bambu yang berada disekitar Cagar Alam Gunung Lokon.

Permasalahan yang sering terjadi di kawasan CA. Gunung Lokon
Permasalahan yang sering dihadapi oleh kawasan ini, tidak jauh berbeda dengan permasalahan yang dihadapi kawasan konservasi lainnya, yakni perambahan, pencurian kayu/hasil hutan, dan pencurian satwa serta kebakaran hutan. Untuk perambahan tahun-tahun terakhir ini sudah mulai berkurang , karena sebagian besar masyarakat trauma akibat letusan gunung lokon, yang telah menghancurkan sebagian besar kebun-kebun mereka beberapa waktu yang lalu, serta akibat banjir bandang dan longsor yang baru-baru saja terjadi pada tahun 2006. Sedangkan untuk pencurian kayu/hasil hutan dan satwa masih dilakukan oleh sebagian kecil masyarakat sekitar kawasan Cagar Alam Gunung Lokon, akibat kurangnya pengetahun mereka akan aturan-aturan yang berlaku.

Maleo (Macrocephalon Maleo)

Biologi Burung Maleo, Macrocephalon Maleo, Sal Muller.
Klasifikasi
Kelas : Aves
Ordo : Galliformes
Sub ordo : Galli
Famili : Megapodiiae
Sub famili : Crocoidae
Genus : Macrocephalon
Species : Macrocephalon Maleo, Sal Muller 1846
Nama daerah : Senkawor, Sengkawur, Songkel (Minahasa), Suangke (Bintauna), Tuanggoi (Bolaang Mongondow), Tuangoho (Bolaang Itang), Bagoho (Suwawa) Mumungo, Panua (Gorontalo), Molo atau Moleo (Mengkoko) (Dekker et al, 1990).

Morfologi
Burung Maleo (Macrocephalon Maleo) besarnya kira-kira sama dengan ayam kampung betina. Maleo dewasa berbobot antara 1,4 – 1,7 Kg, dengan bulu bagian dada agak merah muda keputih-putihan dan bagian lainnya berwarna hitam. Dibagian dada ada bintik-bintik kuning melingkar, ekornya tegak dan kepalanya memiliki tengkorak gundul dan hampir tak berbulu dengan tonjolan menyerupai helm ( Gunawan, 1994).
Keistimewaan Burung Maleo ini adalah meskipun besar tubuhnya relatif tidak jauh berbeda dengan ayam kampung, namun telurnya 5 – 6 kali besarnya dari telur ayam kampung. Berat telurnya berkisar antara 198 – 270 gram dengan panjang antara 9,5 – 11 cm dan diameter mencapai 5,8 – 6,5 cm
Sedangkan warna telurnya relatif sama dengan telur ayam kampung yaitu mendekati warna merah dadu (Gunawan, 1994).

Tonjolan dikepalanya belum diketahui dengan pasti kegunaannya bagi Burung Maleo, Walting (1983 dalam Gunawan, 1994) menduga bahwa tonjolan tersebut berguna untuk menjaga agar tetap sejuk bila berada dipantai panas. Mac Kinnon (1978), Wiro Supartho (1980) dan Dekker (1990) dalam Gunawan , 1994, menduga bahwa tonjolan tersebut bermanfaat untuk mengukur temperatur tanah dimana burung tersebut akan meletakkan telurnya. Menurut Argelo (1991) dalam Gunawan, 1994 tonjolan mirip Helm ini sangat vital bagi Maleo, karena menurutnya bila tonjolan ini luka atau tergores dapat mengakibatkan kematian. Paruhnya hijau pucat dengan warna merah pada pangkalnya. Namun dijumpai juga yang paruhnya berwarna oranye atau merah atau abu-abu dan terkadang hitam.
Berat anak Maleo yang baru menetas adalah sekitar 109 – 169 gram. dan mampu terbang sejauh 100 m. Umur Maleo bisa mencapai 25 – 30 tahun dan mencapai usia dewasa (produktif) setelah 4 tahun (Argelo, 1991 dalam Gunawan, 1994).
Makanan.
Makanan Burung Maleo umumnya adalah biji-bijian dan beberapa jenis buah-buahan dihutan. Biji atau buah yang dimakan antara lain adalah biji Kemiri (Aleurites moluccana), buah Nibung (Dracontomelon mangiferum), buah Beringin (Ficus sp) dan Macaranga sp. Serta biji-bijian atau kacang-kacangan di ladang seperti kedelai, jagung dan kacang hijau. Maleo juga makan siput air tawar, kepiting dan cacing (Gunawan, 1994).
Perilaku Burung Maleo
Pengetahuan tentang perilaku Burung Maleo penting untuk diketahui dan diperlukan dalam upaya pembinaan satwa tersebut, Dengan mengetahui tingkah laku maka dapat diketahui pula apa yang dibutuhkan oleh satwa tersebut. Beberapa perilaku Burung Maleo yang penting untuk diketahui dalam rangka pembinaan habitatnya antara lain perilaku bertelur, perilaku mencari makan, perilaku memeriksa dan perilaku mencari perlindungan.
Habitat
Habitat adalah tempat dimana suatu organisme hidup dan berkembang biak secara alami. Habitat bukan saja merupakan tempat tinggal tetapi juga sebagai tempat berlindung dari segala macam gangguan atau ancaman, menyediakan makanan, menjadi tempat beristirahat, tempat tidur dan bermalam. Tempat berkembang biak serta membesarkan anak. Keseluruhan fungsi habitat itu ditentukan oleh interaksi sejumlah komponen habitat, baik komponen fisik (abiotik) seperti iklim, topografi, air dan tanah maupun komponen biologis (biotik) seperti satwa liar, vegetasi dan penggunaan lahan oleh manusia. Secara garis besar komponen habitat dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) komponen yaitu pelindung (cover), makanan dan air. Keadaan habitat perlu dipertahankan pada kondisi alaminya sehingga satwa dapat berkembang biak secara normal.