Minggu, 08 Maret 2009

Cagar ALam Gunung Lokon

Kondisi Umum Kawasan CA. Gunung Lokon

Letak dan Luas
Cagar Alam Gunung Lokon merupakan salah satu dari tiga belas (13) kawasan konservasi yang ada di Propinsi Sulawesi Utara. Kawasan ini ditunjuk oleh Pemerintahan Belanda berdasarkan GB. No. 6 stbl. 122 tgl 12 Februari 1919 dengan luas 100 Ha. Kawasan Cagar Alam Gunung Lokon telah mengalami perluasan dan telah ditetapkan berdasarkan SK. Menteri Kehutanan No.109 /Kpts-II/2003 tanggal 27 Maret 2003 tentang Penetapan Kelompok Hutan Gunung Lokon seluas 720 Ha yang terletak di wilayah Kecamatan Tomohon dan Pineleng, Kabupaten Minahasa. Propinsi Sulawesi Utara sebagai kawasan Hutan tetap dengan fungsi Cagar Alam.

Secara geografis kawasan ini terletak pada 1o 30 ‘ – 1 o 33’ LU dan 124 o 74’ – 248 o 82’ BT. Kawasan ini terletak di Kecamatan Tomohon Utara, Kota Tomohon Propinsi Sulawesi Utara. Kawasan ini berbatasan langsung dengan 7 (tujuh) kelurahan/desa di Kecamatan Tomohon Utara, yakni : kelurahan Kinilow, Kinilow I, Kakaskasen I, Kakaskasen II, Kakaskasen III, wailan, dan desa Kayawu. Dan 5 (lima) kelurahan/desa di Kecamatan Tomohon Barat , yakni : kelurahan Woloan I, II, III dan desa Tara-tara I, II.

Seperti yang telah diuraikan diatas, kawasan Cagar Alam Gunung Lokon secara administratif berada di Kecamatan Tomohon utara dan Kecamatan Tomohon Barat, Kota Tomohon, Propinsi Sukawesi Utara. Kecamatan Tomohon Utara merupakan pemekaran dari Kecamatan Tomohon pada tahun 2001, dan terdiri dari 9 (sembilan) kelurahan/desa, dimana tujuh diantaranya merupakan kelurahan/desa yang berbatasan langsung dengan kawasan Cagar Alam Gunung Lokon. Adapun Batas wilayah Kecamatan Tomohon Utara adalah sebagai berikut :
Sebelah Utara : Kecamatan Pineleng
Sebelah Timur : Kecamatan Tombuluan.
Sebelah Selatan : Kecamatan Tomohon Tengah.
Sebelah Barat : Kecamatan Tombariri


Kawasan ini ditetapkan sebagai kawasan Cagar Alam karena memiliki ekosistem khas berupa hutan pegunungan dengan gunung berapi yang masih aktif dan mempunyai dua kepundan yang sangat menarik. Secara umum topografi kawasan ini adalah landai sampai bergunung dengn kelerengan 0 % - 90 %, dimana ketinggian puncaknya mencapai kurang lebih 1.580 m dpl. Cagar Alam Gunung Lokon mempunyai rata-rata curah hujan yang cukup tinggi 2500 –3500 mm/tahun dengan temperatur rata-rata 18 o C – 24 o C.

Potensi Flora dan Fauna
Kawasan Cagar Alam Gunug Lokon selain dikenal karena memiliki potensi ekosistem pegunungan berapi yang masih aktif, kawasan ini juga memiliki potensi flora dan fauna yang khas. Jenis flora yang memdominasi kawasan ini adalah Pandan (Pandanus sp) , Aren (Arenga pinnata), Cemara gunung, Pakis-pakisan, anggrek-anggrek pohon , masih banyak lagi tanaman-tanaman hias lainnya. Di sisi lain kawasan ini terdapat padang alang-alang , keadaan ini disebabkan oleh kegiatan Gunung lokon yang sewaktu-waktu aktif dan mengeluarkan debu panas.

Jenis fauna yang terdapat di dalam Cagar Alam ini antara lain : Kera Hitam sulawesi (Macaca nigra), Tangkasi (Tarsius spectrum), Kus-kus (Phalanger celebencis) dan jenis-jenis burung seperti raja udang, tekukur, pipit, dll. Akan tetapi menurut warga masyarakat setempat satwa-satwa tersebut sebagian besar telah bermigrasi ke hutan lindung yang berada di sebelah kawasan ini, akibat letusan gunung lokon. Satwa-satwa lain seperti tarsius dan kus-kus masih sering terlihat oleh masyarakat di kebun-kebun, pohon-pohon dan bambu yang berada disekitar Cagar Alam Gunung Lokon.

Permasalahan yang sering terjadi di kawasan CA. Gunung Lokon
Permasalahan yang sering dihadapi oleh kawasan ini, tidak jauh berbeda dengan permasalahan yang dihadapi kawasan konservasi lainnya, yakni perambahan, pencurian kayu/hasil hutan, dan pencurian satwa serta kebakaran hutan. Untuk perambahan tahun-tahun terakhir ini sudah mulai berkurang , karena sebagian besar masyarakat trauma akibat letusan gunung lokon, yang telah menghancurkan sebagian besar kebun-kebun mereka beberapa waktu yang lalu, serta akibat banjir bandang dan longsor yang baru-baru saja terjadi pada tahun 2006. Sedangkan untuk pencurian kayu/hasil hutan dan satwa masih dilakukan oleh sebagian kecil masyarakat sekitar kawasan Cagar Alam Gunung Lokon, akibat kurangnya pengetahun mereka akan aturan-aturan yang berlaku.

Maleo (Macrocephalon Maleo)

Biologi Burung Maleo, Macrocephalon Maleo, Sal Muller.
Klasifikasi
Kelas : Aves
Ordo : Galliformes
Sub ordo : Galli
Famili : Megapodiiae
Sub famili : Crocoidae
Genus : Macrocephalon
Species : Macrocephalon Maleo, Sal Muller 1846
Nama daerah : Senkawor, Sengkawur, Songkel (Minahasa), Suangke (Bintauna), Tuanggoi (Bolaang Mongondow), Tuangoho (Bolaang Itang), Bagoho (Suwawa) Mumungo, Panua (Gorontalo), Molo atau Moleo (Mengkoko) (Dekker et al, 1990).

Morfologi
Burung Maleo (Macrocephalon Maleo) besarnya kira-kira sama dengan ayam kampung betina. Maleo dewasa berbobot antara 1,4 – 1,7 Kg, dengan bulu bagian dada agak merah muda keputih-putihan dan bagian lainnya berwarna hitam. Dibagian dada ada bintik-bintik kuning melingkar, ekornya tegak dan kepalanya memiliki tengkorak gundul dan hampir tak berbulu dengan tonjolan menyerupai helm ( Gunawan, 1994).
Keistimewaan Burung Maleo ini adalah meskipun besar tubuhnya relatif tidak jauh berbeda dengan ayam kampung, namun telurnya 5 – 6 kali besarnya dari telur ayam kampung. Berat telurnya berkisar antara 198 – 270 gram dengan panjang antara 9,5 – 11 cm dan diameter mencapai 5,8 – 6,5 cm
Sedangkan warna telurnya relatif sama dengan telur ayam kampung yaitu mendekati warna merah dadu (Gunawan, 1994).

Tonjolan dikepalanya belum diketahui dengan pasti kegunaannya bagi Burung Maleo, Walting (1983 dalam Gunawan, 1994) menduga bahwa tonjolan tersebut berguna untuk menjaga agar tetap sejuk bila berada dipantai panas. Mac Kinnon (1978), Wiro Supartho (1980) dan Dekker (1990) dalam Gunawan , 1994, menduga bahwa tonjolan tersebut bermanfaat untuk mengukur temperatur tanah dimana burung tersebut akan meletakkan telurnya. Menurut Argelo (1991) dalam Gunawan, 1994 tonjolan mirip Helm ini sangat vital bagi Maleo, karena menurutnya bila tonjolan ini luka atau tergores dapat mengakibatkan kematian. Paruhnya hijau pucat dengan warna merah pada pangkalnya. Namun dijumpai juga yang paruhnya berwarna oranye atau merah atau abu-abu dan terkadang hitam.
Berat anak Maleo yang baru menetas adalah sekitar 109 – 169 gram. dan mampu terbang sejauh 100 m. Umur Maleo bisa mencapai 25 – 30 tahun dan mencapai usia dewasa (produktif) setelah 4 tahun (Argelo, 1991 dalam Gunawan, 1994).
Makanan.
Makanan Burung Maleo umumnya adalah biji-bijian dan beberapa jenis buah-buahan dihutan. Biji atau buah yang dimakan antara lain adalah biji Kemiri (Aleurites moluccana), buah Nibung (Dracontomelon mangiferum), buah Beringin (Ficus sp) dan Macaranga sp. Serta biji-bijian atau kacang-kacangan di ladang seperti kedelai, jagung dan kacang hijau. Maleo juga makan siput air tawar, kepiting dan cacing (Gunawan, 1994).
Perilaku Burung Maleo
Pengetahuan tentang perilaku Burung Maleo penting untuk diketahui dan diperlukan dalam upaya pembinaan satwa tersebut, Dengan mengetahui tingkah laku maka dapat diketahui pula apa yang dibutuhkan oleh satwa tersebut. Beberapa perilaku Burung Maleo yang penting untuk diketahui dalam rangka pembinaan habitatnya antara lain perilaku bertelur, perilaku mencari makan, perilaku memeriksa dan perilaku mencari perlindungan.
Habitat
Habitat adalah tempat dimana suatu organisme hidup dan berkembang biak secara alami. Habitat bukan saja merupakan tempat tinggal tetapi juga sebagai tempat berlindung dari segala macam gangguan atau ancaman, menyediakan makanan, menjadi tempat beristirahat, tempat tidur dan bermalam. Tempat berkembang biak serta membesarkan anak. Keseluruhan fungsi habitat itu ditentukan oleh interaksi sejumlah komponen habitat, baik komponen fisik (abiotik) seperti iklim, topografi, air dan tanah maupun komponen biologis (biotik) seperti satwa liar, vegetasi dan penggunaan lahan oleh manusia. Secara garis besar komponen habitat dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) komponen yaitu pelindung (cover), makanan dan air. Keadaan habitat perlu dipertahankan pada kondisi alaminya sehingga satwa dapat berkembang biak secara normal.